GAMBUH adalah dramatari klasik Bali yang umurnya sangat tua, namun masih dipentaskan sampai sekarang, sebagai presentasi artistik maupun pengiring upacara ritual. Ada benang merah yang menghubungkan gambuh yang terbentuk di Bali dengan raket lalankaran, yaitu dramatari dari zaman Jawa-Hindu di Jawa Timur dan Madura yang disebut Gambuh anyar.
Pada abad ke-16, Gambuh merupakan tarian perang kelanjutan dari bhata mapatra yuddha, yaitu untuk menghibur rakyat Majapahit yang melaksanakan upacara shraddha untuk menghormati Rajapatni. Tarian ini muncul di Bali bersamaan dengan kehadiran para bangsawan Majapahit yang melarikan diri ketika kerajaan itu runtuh dan ditransformasikan dengan budaya Bali, sehingga disebut Gambuh.
rwujudnya Gambuh ini menurut staf pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Dr NLN Suasthi Widjaja SST MHum, bertepatan dengan saat Bali sedang mengalami kebangkitan kembali dalam bidang seni, yaitu zaman pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550 M). Gambuh di Bali tidak hanya memperkenalkan cerita sebagai lakon dengan struktur dramatik yang lengkap.
Gambuh juga memperkenalkan pula koreografi yang rumit dan penampilan yang artistik, untuk hiburan raja dan para bangsawan kerajaan. Bentuk pertunjukan Gambuh memiliki standar kualitas tari tertentu yang mencirikan Gambuh yaitu memiliki struktur pertunjukan dan koreografi serta iringan musik yang pasti, perbendaharaan gerak yang lengkap dengan aturan-aturan yang ketat, tidak dimiliki oleh tari Bali sebelumnya,” ujar ibu tiga anak yang dilahirkan di Denpasar Bali ini.
Dijelaskan oleh NLN Suasthi Widjaja, Gambuh dengan kostum yang megah kekhasan bentuk gelungan setiap karakternya. Hal ini pula yang membedakan Gambuh yang dilestarikan di Bali dengan Gambuh yang dilestarikan di Jawa Timur dan Madura, yang hanya berbentuk tarian lepas, berupa tari perang-perangan. Sebagai sebuah total theatre, Gambuh yang terbentuk di Bali, menjadi sumber yang mempengaruhi bentuk-bentuk seni pertunjukan yang lahir kemudian. ”Salah satu dramatari yang mendapat pengaruh dari Gambuh dramatari adalah opera arja, yang menggunakan tembang dan dialog sebagai media ungkap lakon yang ditampilkan,” ujar Suasthi Widjaja.
Doktor lulusan UGM ini melihat terbentuknya dramatari opera arja seperti sekarang ini telah melalui proses transformasi dalam rentang waktu yang sangat lama. Dramatari arja yang muncul di kalangan masyarakat jelata sebagai sebuah pertunjukan yang sederhana pada mulanya, telah berubah secara bertahap menjadi bentuk seni pertunjukan yang memiliki unsur-unsur pokok Gambuh dalam bentuk yang lebih menarik, sesuai dengan jiwa zamannya.
”Hal ini juga diakibatkan oleh karena peran istana dan keterlibatan para tokoh Gambuh dalam proses pembentukannya. Penelitian yang mengkaji asal-usul Gambuh serta pengaruhnya pada dramatari opera arja, merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan etnokoreologi, yaitu pendekatan tari atau koreografi dari berbagai suku bangsa dengan latar belakang budayanya yang khas,” ujar istri Prof Dr I Made Bandem itu.
Dalam penelitian tentang Gambuh, Suasthi Widjaja menemukan sebuah lontar Dharma Pagambuhan yang penting artinya bagi dunia seni pertunjukan di Bali, sehingga memperkuat asumsi bahwa Gambuh merupakan sumber tari dan dramatari Bali yang muncul kemudian, oleh karena sesajen yang dimuat dalam lontar ini juga dipersembahkan oleh genre seni pertunjukan lainnya karena melakukan pertunjukan.
Karena berbagai data yang ditemukan NLN Suasthi Widjaja mengambil kesimpulan Gambuh yng terwujud di Bali berasal dari zaman Jawa-Hindu di Jawa Timur, yaitu dengan meleburnya antara pengaruh luar dengan budaya Bali, menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dramatari Gambuh yang diwarisi di Bali, lahir dari hasil penyatuan dua budaya yang tidak terpisahkan.
”Dramatari Gambuh yang diwarisi di Bali, lahir dari hasil penyatuan dua budaya yang tidak terpisahkan ini, kemudian membangkitkan lahirnya kehidupan baru dalam seni pertunjukan Bali selanjutnya. Gambuh sebagai hasil karya cipta seni yang adiluhung memiliki unsur-unsur teatrikal lengkap yang menjadikannya sumber tari dan dramatari Bali yang tercipta kemudian,” kata Suasthi.
Karena itu, lontar Dharma Pagambuhan sebagai lontar tuntunan spiritual untuk dramatari Gambuh, perlu disebarluaskan agar dapat dipelajari dan dipahami oleh para seniman tari dan tabuh Gambuh maupun seniman tari pertunjukan lainnya. Hal ini menurutnya penting dilakukan karena para seniman Gambuh sekarang tidak mengenal lagi mantra-mantra termasuk praksis yang dimuat dalam lontar Dharma Pagambuhan.
”Dengan pengetahuan tersebut diharapkan akan ada kesinambungan antara aspek teknik pertunjukan, sehingga senimannya dapat tampil secara komplit dan mataksu atau berkharisma dalam pertunjukan,” kata perempuan yang telah menciptakan puluhan karya tari dan dramatari ini.
Penelitian yang dilakukan Suasthi tentang Gambuh pengaruhnya pada dramatari opera arja ini untuk memberikan pemahaman secara analisis terhadap pengaruh dramatari Gambuh sebagai sumber tari dan dramatari Bali yang muncul kemudian, khususnya pada dramatari opera arja.
***
MANTAN Rektor ISI Yogyakarta, Prof Dr I Made Bandem menyebutkan, di samping memiliki kekuatan estetika yang kental, dramatari Gambuh juga memiliki mitos dan rentangan sejarah yang panjang serta rentetan etika (ritual) yang mengagumkan. ”Lontar Prakempa dan Aji Gurnita menyebutkan bahwa gamelan Gambuh diturunkan dari gamelan Melad Perana, yaitu gamelan yang dibentuk oleh Genta Pinara Pitu yang sumber bunyinya berasal dari suara-suara sakral para dewa Pengider Buwana. Wujud gerak dalam dramatari Gambuh yang dibentuk oleh agem, tandang, tangkis dan tangkep, dibingkai oleh logika wiraga, wirama, wirasa dan wibawa, sehingga menjadi bagian yang khas dan tidak ada duanya di dunia,” jelas Made Bandem dalam buku Seni Tradisi Menantang Perubahan terbitan STSI Padang (2004).
Dikatakan, salah satu keunikan Gambuh adalah pada bentuknya, yang merupakan gabungan antara tari Jawa dan tari Bali, dimana Gambuh memasukkan cerita dalam tarian Bali karena tarian Bali pada zaman Pra-Hindu tidak memiliki cerita. Dalam perkembangannya, Gambuh yang semula hanya mengambil cerita Panji kemudian dapat menampung berbagai cerita klasik yang sesuai dengan struktur dramatikanya. Gambuh kemudian mengambil lakon Tantri, Ahmad Mohammad, cerita Rengganis, Damarwulan, sampai Macbeth.
Menurut Prof Made Bandem, lakon-lakon itu tidak hanya mengubah struktur Gambuh tetapi juga membawa nuansa bahasa yang berbeda. Dari bahasa Jawa Kuna menjadi bahasa Jawa Tengahan dan Jawa Baru, bahkan kini juga ada pementasan Gambuh dengan cerita klasik berbahasa Inggris karya Shakespeare. Gambuh juga telah menunjukkan dirinya memang menjadi wahana toleransi berbagai nilai-nilai Hindu, Islam, nilai-nilai klasik dan kini nilai-nilai modern (kontemporer).
Dilihat dari sisi lain, kata Made Bandem, Gambuh juga telah berhasil menjadi agen perubahan tari Bali. Misalnya perubahan Sang Hyang Dedari menjadi Legong. Tahun 1975, kelompok seniman ASTI Bali dan SMKI Bali juga mengubah Gambuh lama menjadi Gambuh anyar yang menggunakan lakon dari cerita Mahisa Jayanti, yang sekaligus memasukkan adegan roman antara Panji dan Galuh Ajeng. Ini mungkin jarang terjadi pada Gambuh sebelumnya. Bahkan tidak hanya cerita yang diperbarui, tetapi gamelanpun diubah, dari Suling Pegambuhan menjadi gamelan Semar Pagulingan. Gaya tarinyapun banyak mengalami perubahan.
Busana Gambuh yang semula hanya menggunakan motif-motif kain Bali yang sangat sederhana dan hanya untuk menunjukkan dirinya sebagai seni istana yang mengagungkan para raja masa lampau, kemudian dibuat menjadi penuh kemewahan. Antara lain terdiri gelungan dan kain-kain perada gede yang megah. ”Secara terus-menerus Gambuh telah mengubah tradisi (wujudnya) sendiri menjadi seni yang fungsional. Hidup sesuai dengan zamannya,” tegas Prof I Made Bandem. (M Adhisupo/Joko Budhiarto)-m
sumber : http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=155256&actmenu=45
0 comments:
Post a Comment